Pages

2008-06-29

Pangan dan Martabat Manusia

Dunia kini merupakan rumah bagi 850 juta manusia yang kelaparan dan menderita gizi buruk. Kelangkaan pangan, rendahnya kualitas pangan, tercemarnya air minum, dan kemunculan berbagai penyakit, mulai menjadi pemandangan yang biasa kita temukan di sekitar kita, bahkan menjadi bagian dari kehidupan perempuan, laki-laki, dan anak-anak di seluruh dunia. Apakah planet bumi tidak lagi sanggup memberi makan penduduknya?
Bukan kurangnya produksi pangan yang menjadi penyebab keadaan ini. Tiadanya akses terhadap pangan bagi rakyat marjinal dan berkekurangan inilah yang menyebabkan ratusan juta manusia di dunia kelaparan dan kurang gizi. Dengan kalimat lain, keterbatasan penguasaan atas sumber daya dasar, seperti tanah dan benih atau penghasilan untuk memperoleh pangan yang menopang kehidupan inilah yang menjadi penyumbang penurunan martabat manusia.
Data yang dikeluarkan oleh FIAN Internasional, menunjukkan Ÿ dari orang kelaparan di dunia tinggal di pedesaan, tempat selayaknya pangan dihasilkan; perempuan, masyarakat adat, anak balita, serta korban bencana alam dan perang adalah kelompok yang paling parah terkena dampak kelaparan dan gizi buruk; hampir 1 dari 7 orang di dunia tidak mendapatkan pangan yang cukup untuk tetap sehat dan menjalani hidup yang aktif; setiap tahun lebih dari 5,5 juta anak meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan gizi buruk; setiap menit 24 orang mati kelaparan; bahkan setiap 5 detik 1 orang anak kecil mati kelaparan. Jadi, begitu Anda selesai membaca tulisan ini selama 30 detik, sedikitnya ada 6 manusia di dunia yang harus kehilangan nyawa karena lapar atau gizi buruk.
Mendapat pangan yang layak merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi (menyetujui) Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ekosob) melalui Undang-undang No.11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights di mana negara berkewajiban memenuhi dan melindungi hak atas pangan rakyat.
Namun petani dan rakyat pedesaan justru menjadi kelompok yang paling rentan kelaparan, belum lagi nelayan kecil yang tersingkir dari lautnya sendiri karena keberadaan kapal-kapal pukat milik pengusaha, dan kaum miskin kota yang memang tidak punya akses ke sumber daya dan penghasilan yang layak. Mereka tidak pernah diuntungkan dari kebijakan yang dilahirkan pemerintah sebagai pemegang amanat atas terpenuhinya hak atas pangan setiap rakyatnya.
Meski KTT Pangan Sedunia 2006 mengakui angka kelaparan dunia tidak semakin menurun, namun justru terus meningkat, neoliberalisme dan neoimperialisme (penjajahan baru) melalui perusahaan-perusahaan multinasional, lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia, dan lain-lain), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan perjanjian bilateral dan regional semakin dalam menancapkan cengkeramannya atas negara berkembang. Pemerintah pun melepaskan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar rakyatnya kepada kekuatan modal. Tak mengherankan, harga-harga kebutuhan pokok semakin tinggi, dan pengalihan lahan-lahan pangan produktif menjadi lahan tanaman ekspor semakin marak, sementara rakyat miskin bertumbangan ke bumi.
Memberdayakan rakyat untuk dapat mendokumentasi pelanggaran hak atas pangan, mengorganisasi diri sehingga melahirkan kekuatan untuk mendesak pemerintah, serta membangun aliansi dan dukungan internasional menjadi agenda penting yang harus segera kita laksanakan agar hak-hak rakyat atas pangan kembali terpenuhi.

0 komentar:

Post a Comment

Komentar Anda sangat berharga bagi Saya. Silakan berkomentar ...